Rabu, 15 Mei 2013

perempuan yang tidak mengetehui harga kainnya



Seorang perempuan suatu hari datang kepada Imam Abu Hanifah, ia membawa selembar kain yang hendak dijualnya kepada Imam Abu Hanifah. Sejarah telah mencatat bahwa Abu Hanifah selain seorang ulama besar adalah juga seorang saudagar dan pengusaha yang mahsyur. "berapa kamu jual kain ini?" yanya beliau kepada perempuan tadi. "seratus dirham" jawab perempuan itu. Namun ternyata kain yang dibawa perempun itu sangat bagus dan berkualitas, tetapi rupanya perempuan itu tidak mengetahuinya, entah dari manakah dahulu ia memperolehnya. Tetapi hal itu tidak menjadikan Imam Abu Hanifah sedikitpun berniat untuk memanfatkan kesempatan apalagi berbuat curang. Maka seperti yang diriwayatkan dalam Al-Maqdisi berikut ini : "harga kainmu ini lebih mahal dari seratus dirham", "coba kamu tawarkan dengan harga yang lebih tinggi"lanjut Abu Hanifah. "kalau begitu duaratus dirham" kata perempuan itu lagi , "tapi kainmu ini lebih bagus dari empatratus dirham" kata Imam Abu Hanifah kembali menegaskan, "tapi aku akan membelinya empatratus dirham". Akhirnya jual-beli itupun disepakatinya bersama-sama.

Kisah diatas adalah contoh mengenai cara pandang seseorang terhadap materi atau barang.
Imam Abu Hanifah yang kemudian membeli kain itu adalah gambaran seseorang yang memiliki cara pandang terhadap uang , tetapi kemudian yang menentukan "Bagaimana" dan "Apa" saling mengait adalah mentalitas dari kedua orang itu sendiri. Pada kenyataannya dalam hidup ini kita memang tidak bisa lepas dari ketiga hal itu :
- cara pandang kita terhadap barang
- cara pandang kita terhadap uang
- mentalitas kita dalam mempertemukan barang dan uang
Dua cara pandang antara Imam Abu Hanifah dan perempuan tadi saling bertemu yang didasari kejujuran dan keimanan yang luarbiasa. Maka ketiga unsur diatas melahirkan kebaikan , kemanfatan yang luarbiasa dan keberkahan nilai transaksi..
Transaksi yang didasari dari keridhoan semua pihak . Dari sepotong kain dan bagaimana kemudian ia ditawarkan dan akhirnya dibeli adalah ekspresi dari sebuah mentalitas..

Perempuan itu pulang dengan bahagia, sebab meskipun ia awalnya tidak mengetahui nilai dari kainnya, ia masih pulang dengan membawa uang yang lebih besar dari yang ia harapkan sebelumnya. Ia mendapatkan cara pandang yang lebih baik tentang nilai barang.
Begitupun dengan Imam Abu Hanifah yang juga berbahagia karena , adanya peluang untuk membeli kain dengan harga sangat murah tidak membuatnya menipu atau mengelabui demi mendapatkan keuntungan semata, cara pandang yang benar tentang nilai uang atau keuntngan justru membimbingnya untuk bertindak secara terhormat..sangat terhormat..

Cara pandang kita tentang barang ditunjang oleh pengetahuan tentang barang tersebut (arti barang itu). Banyak diantara kita yang mengartikan nilai barang atas dasar fungsinya, hal itu memeng benar hanya saja ternyata lebih dari itu. Lebih dari sekedar fungsi, ada makna estetis dari setiap barang dan tentunya dalam batas yang wajar /patut. Bila makna estetis itu berlebihan ataupun melampaui batas maka dapat melahirkan cara pandang yang liar, itu tidak benar.. atau dalam bahasa Al-Qur'an-nya cara pandang seperti itu disebut "jamma" /berlebihan. (QS.AL-FAJR : 20).

WALLAHU'ALAM...
Top of Form
Bottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar